topmodis - Belakangan ini, kata self care berlebihan sering banget nongol di timeline. Awalnya sih niatnya bagus—buat rawat diri, healing, dan jaga kesehatan mental. Tapi makin ke sini, konsep “self care” malah jadi pembenaran buat hidup konsumtif. Dari skincare step 10, coffee shop hopping tiap weekend, sampai staycation bulanan—semuanya diklaim sebagai bentuk self love. Padahal, kalau ditotalin, bisa bikin dompet bolong juga, geng. 💸
Di sisi lain, muncul istilah lucu tapi nyentil: pajak realitas. Maksudnya, gaya hidup yang makin boros bikin negara ikut “senyum” karena dapet pemasukan tambahan dari pajak produk lifestyle. Mau itu latte, lilin aromaterapi, sampai spa mewah—semuanya udah masuk rantai ekonomi yang ujung-ujungnya ada potongan pajak di sana.
Jadi, walaupun niatnya “self care”, ternyata ada harga realitas yang mesti dibayar—secara harfiah. Nah, di artikel ini kita bakal bahas gimana self care bisa berubah jadi self spoiling, efek finansialnya ke kantong, dan gimana caranya tetep waras tanpa harus bangkrut.
Tren Self Care dan Budaya Konsumtif Generasi Z
Konsep self care awalnya muncul dari gerakan kesehatan mental. Pesannya simpel: lo berhak istirahat, merawat diri, dan ngasih waktu buat recharge. Tapi pas masuk ke media sosial, maknanya berubah jadi tren estetik. Self care sekarang udah dikaitin sama lilin mahal, masker viral, journaling aesthetic, dan brunch di tempat yang Instagramable.
Influencer, brand kecantikan, sampai coffee shop lokal pun ikut nimbrung. Semua berlomba-lomba jualan “momen tenang” dalam bentuk produk. Alhasil, generasi muda jadi percaya kalau self care = spending. Dan dari sinilah budaya konsumtif mulai ngambil alih.
Gaya hidup “treat yourself” tiap minggu emang keliatan fun, tapi kalau gak dikontrol, bisa berubah jadi pola “beli biar tenang, bukan biar butuh.” Padahal, yang lo kejar bukan ketenangan, tapi validasi sosial terselubung.
Ketika Self Care Jadi Ajang Konsumsi Berlebihan
Dari Maskeran ke Mall — Beda Tipis antara Self Love dan Self Indulgence
Lo pasti pernah mikir, “Gue capek kerja, gue pantas kok beli ini.” Kalimat itu sering banget jadi pembenaran buat impulsif shopping. Mulai dari sheet mask tiap malam sampai weekend spa yang mahal, semua dianggap self love.
Padahal, self care sejati itu bukan selalu tentang “reward”, tapi tentang keseimbangan. Lo bisa rawat diri tanpa harus nyentuh dompet tiap kali butuh healing. Menurut psikolog, kebiasaan konsumtif sering nyamar jadi self care karena kita nyari rasa kontrol di tengah stres. Tapi ironinya, makin sering lo beli, makin lo kehilangan kontrol finansial.
Fenomena “Pajak Realitas” di Gaya Hidup Modern
Nah, di sinilah istilah “pajak realitas” mulai relevan. Ini semacam sindiran kalau semua yang lo nikmatin sekarang—mulai dari kopi premium, skincare viral, sampai gym membership—itu semua udah kena pajak.
Secara ekonomi, negara “senang” karena konsumsi tinggi = pajak tinggi. Tapi buat lo, realitanya: makin banyak “self care”, makin banyak uang yang “dipungut negara”. Gak salah sih, cuma kalau tiap minggu ada “healing tax” lewat belanja impulsif, ya siap-siap saldo menipis sebelum tanggal tua.
Efek Finansial dari Self Care yang Kebablasan
Financial Drain tanpa Sadar
Kebiasaan kecil itu efeknya bisa gede banget. Coba deh hitung: kopi susu Rp40 ribu tiap hari = Rp1,2 juta per bulan. Spa Rp500 ribu sebulan sekali, skincare baru tiap dua minggu, langganan aplikasi kesehatan—kalau dijumlahin, bisa nyentuh 30% penghasilan lo.
Masalahnya, semua itu gak terasa karena lo ngerasa “gue butuh ini buat bahagia.” Tapi kalau kebahagiaan lo bergantung sama transaksi, lo lagi dalam mode financial drain. Bukan self care, tapi self sabotage versi halus.
Mental Health atau FOMO?
Satu hal yang sering bikin orang kebablasan adalah FOMO (Fear of Missing Out). Lo scroll TikTok, liat orang lain self care di resort Bali, terus tiba-tiba pengen juga. Padahal, kebutuhan mental health tiap orang beda.
Self care yang sehat itu tentang pemulihan, bukan pelarian. Kalau tiap kali lo stres langsung pengen beli sesuatu, itu bukan penyembuhan—itu penundaan masalah. Lo cuma bikin dopamine rush sesaat yang ujungnya hilang bareng isi dompet.
Cara Tetap Waras dan Finansial Aman di Tengah Budaya Self Care
Redefinisi Self Care yang Autentik
Saatnya redefinisi: self care gak selalu harus mahal. Kadang, bentuk self care paling jujur itu cuma duduk tenang, journaling, atau matiin HP sejam. Lo gak harus punya skincare 12 langkah buat ngerasa damai.
Self care sejati itu tentang sadar diri dan mengenal batas. Misalnya, lo sadar lagi capek, ya istirahat, bukan belanja. Lo sadar lagi butuh tenang, ya journaling, bukan impulsif checkout di e-commerce.
Terapkan Financial Self-Care
Menkeu aja sering bilang, salah satu bentuk self care itu ngatur duit lo sendiri. Financial self-care artinya lo peduli sama kondisi keuangan lo kayak lo peduli sama skincare routine.
Mulai dari hal kecil: bikin budget khusus self care (misal 10% dari gaji), pisahin rekening tabungan, dan catat pengeluaran rutin. Lo juga bisa pakai prinsip 50/30/20 biar keuangan tetap balance. Jadi self care-nya tetap jalan, tapi gak bikin panik waktu saldo tinggal dua digit.
Peran Pemerintah dan Ekonomi dalam Fenomena Self Care
Kalau mau jujur, tren self care ini sebenernya “berkah” buat ekonomi. Industri kecantikan, wellness, sampai F&B tumbuh pesat karena perilaku konsumtif masyarakat urban. Dan otomatis, negara dapet pajak dari transaksi itu.
Contohnya, produk kosmetik impor, coffee shop premium, sampai spa eksklusif—all taxable. Jadi kalau lo mikir negara cuek sama tren self care, lo salah. Ini malah jadi sektor pajak potensial baru: lifestyle tax.
Tapi ya, ada sisi etis juga di sini. Pemerintah seharusnya bisa edukasi masyarakat biar konsumsi lebih bijak, bukan cuma nikmatin pajaknya. Karena kalau budaya konsumtif gak dikontrol, yang untung bukan cuma negara, tapi juga brand yang jual mimpi lewat kata “self care.”
Kesimpulan — Self Care Yes, Self Spoiling No
Pada akhirnya, self care itu penting. Lo berhak istirahat, lo berhak healing. Tapi self care yang kebablasan malah bikin lo stres baru: stres finansial.
Kuncinya: balance. Lo boleh treat diri lo, tapi jangan sampai self care jadi alasan buat boros. Mulai dari sekarang, coba ubah mindset: self care bukan cuma tentang “beli sesuatu buat bahagia”, tapi “ngatur diri biar bahagia dalam jangka panjang.”
Karena pada akhirnya, lo gak butuh lilin mahal buat tenang, lo cuma butuh kejujuran buat ngatur hidup lo sendiri. Self care boleh, asal gak lupa bayar realitas. 😉